ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI BARU LAHIR DENGAN KASUS ASFIKSIA NEONATORUM / BAYI LAHIR TIDAK MENANGIS SPONTAN


LANDASAN TEORI
Proses persalinan terfokus pada ibu tetapi karena proses tersebut merupakan proses pengeluaran hasil kehamilan (bayi), maka penatalaksanaan satu persalinan dikatakan berhasil apabila selain ibunya, maka bayi yang dilahirkan juga berada dalam kondisi yang optimal. Memberikan pertolongan dengan segera, aman dan bersih esensial dari asuhan bayi baru lahir. Setelah bayi lahir esensilanya bayi akan menangis dengan spontan. Apabila bayi lahir tidak menangis dapat terjadi beberapa faktor yaitu bayi mengalami sumbatan jalan nafas karena lendir dan air ketuban atau juga dapat disebabkan karena asfeksia neonatomm.

Sebagian besar kesakitan dan kematian bayi barn lahir disebabkan oleh asfeksia yaitu keadaan dimana bayi barn lahir tidak dapat bernafas spontan dan teratur segera setelah lahir. Asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna sehingga tindakan keperawatan untuk keperawatan dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan mengatasi gejala lanjut yang mungkin terjadi (Sarwono, 2005).


ETIOLOGI
Sambutan pada jalan nafas diakibatkan atau dikarenakan oleh lendir dan air ketuban yang menyumbat pada hidung, mulut dan tenggorokan halus langsung dilakukan pembersihan jalan nafas agar bayi dapat bernafas dan menangis, setelah itu beri rangsang taktil bila bayi tidak juga menangis, bila tidak menangis maka ditakutkan terjadi asfiksia yaitu pengembangan paru BBL terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan kemudian disusui dengan pernafasan teratur, bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan, oksigen dari ibu ke jari in maka akan terjadi aksifikasi neonatorium. Penggolongan penyebab kegagalan pernafasan pada bayi terdiri dan :

1. Faktor ibu
a. Hipoksia ibu, hal mi akan menimbulkan hipoksia jari in, hipoksia ibu dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgesic atau anastesi dalam.
b. Gangguan aliran darah uterus, berkurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya pengaliran 02 ke placenta dan ke jari in.

2. Faktor placenta
Solusio placenta dan perdarahan placenta
3. Faktor fetus
Tali pusat menumbang, lilitan tali pusat, kompresi tali pusat antara jari in dan jalan lahir.

4. Faktorneonatus
a. Pemakaian obat anastesi / analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan jari in
b. Trauma yang terjadi pada persalinan misalnya : perdarahan intra kranial
c. Kelainan congenital misalnya : hernia, diagfragmatika, atresia saluran pernafasan hipoplasia pam,
(Hanifa Wiknjosastro — 1999)


Gejala dan tanda asfiksia neonatorum
a. Tidak bernafas atau nafas megap-megap diikiuti dengan bayi lahir tidak menangis spontan dan bernafas lamba;. (kflr’ang dan 30 x per menit)
b. Pernafasan tidak teratur, dengkuran / retraksi (pelekukan dada)
c. Tangisan lemah atau merintih
d. Warna kulit biru atau pucat
e. Tonus otot lemas atau ekstremitas terkulai
f. Denyut jari tung tidak ada atau lambat (bradikardi) kurang dan 100 x/menit
(Gulardi Wiknjosastro - 2007)


Tindakan pasca asfiksia neonatorum
Tindakan yang dikerjakan pada bayi yang lazim disebut resusitasi BB. Sebelum resusitasi dikerjakan perlu di perhatikan bahwa:

1. Faktor waktu sangat penting
2. Kerusakan yang timbul pada bayi akibat anaksia/hipoksia antenatal tidak diperbaiki, tetapi kerusakan yang akan terjadi karena bisa anaksia/hipoksia pasca natal harus di cegah dan di atasi.
3. Riwayat kehamilan dan pertus akan memberikan keterangan yang jelas tentang faktor terjadinya depresi pernafasan BBL.
4. Penilaian BBL perlu dikenal baik agar resusitasi yang lakukan secara adekuat. (Hany, Oxorn :1996)


Prinsip dasar resusitasi yang perlu di ingat
a. Memberikan lingkungan yang baik pada bayi dan mengusahakan saluran pernafasan tetap bebas serta merangsang timbulnya pernafasan
b. Memberi bantuan pernafasan secara efektifpada bayi yang menunjukan usaha pernafasan lemah.
c. Riwayat kehamilan dan partus akan memberikan keterangan yang jelas tentang faktor penyebab terjadinya depresi pernafasan pada BBL
d. Penilaian BBL perlu dikenal baik agar resusitasi yang dilakukan dapat di pilih dan di tentukan secara adekuat.
(Gulardi Wiknjosastro - 2007)

Penatalaksanaan Asfiksia
1. Langkah awal
a. Mencegah kehilangan panas, termasuk menyiapkan tempat yang kering dan hangat untuk melakukan pertolongan.
b. Memposisikan bayi dengan baik, (kepala bayi setengah tengadah/sedikit ekstensi atau mengganjal bahu bayi dengan kain)
c. Bersihkan jalan nafas dengan alat penghisap yang tersedia Bersihkan jalan nafas dengan ketentuan sebagai berikut

1) Bila air ketuban jernih (tidak bercampur mekonium), hisap lendir pada mulut baru pada hidung.
2) Bila air ketuban bercampur dengan mekonium, mulai mengisap lendir setelah kepala lahir (berhenti seberi tar untuk menghisap lendir di mulut dan hidung). Bila bayi menangis, nafas teratur, lakukan asuhan bayi barn lahir normal. Bila bayi mengalami depresi, tidak menangis, lakukan upaya maksimal untuk membersihkan jalan nafas dengan jalan membuka mulut lebar-lebar dan menghisap lendir lebih dalam secara hati-hati.
3) Menilai bayi dengan melihat usaha nafas, denyut jari tung dan warna kulit kemerahan, lakukan asuhan bayi barn lahir normal. Bila bayi tidak menangis atau megap-megap, warna kulit biru atau pucat denyut jari tung kurang dan 100 xlme4it, lanjutkan langkah resusitasi.


2. Langkah resusitasi
a. Sebelumnya periksa dan lakukan bahwa alat resusitasi (baton resusitasi dan sungkup muka) telah tersedia dan berfungsi baik (lakukan test untuk baton dan sungkup muka)
b. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan sebelum memegang atau memeriksa bayi
c. Selimuti bayi dengan kain yang kering dan hangat kecuali muka dan dada bagian atas, kemudian letakkan pada alas dan lingkungan yang hangat.

d. Periksa ulang posisi bayi dan pastikan kepala berada dalam posisi tengadah
e. Letakkan sungkup melingkupi dagu, hidung dan mulut sehingga terbentuk semacam tautan sungkup dan wajah.
f. Tentukan balon resusitasi dengan dua jari atau dengan semua jari tangan (tergantung pada ukuran balon resusitasi)
g. Lakukan pengujian pertautan dengan melakukan ventilasi sebanyak dua kali dan periksa gerakan dinding dada
h. Bila pertautan baik ( tidak bocor) dan dinding dada mengembang maka lakukan ventilasi dengan menggunakan oksigen (bila tidak ada atau tersedia oksigen guna udara ruangan)
i. Perhatikan kecepatai ventilasi sekitar 40 kali per 60 detik, dengan tekanan yang tepat sambil melihat gerakan dada (naik turun) selama ventilasi.
j. Bila dinding dada tidak naik-turun dengan baik berarti ventilasi berjalan secara adekuat.
k. Bila dinding dada tidak naik, periksa ulang dan betulkan posisi bayi atau terjadi kebocoran lekatan atau tekanan ventilasi kurang
l. Lakukan ventilasi selama 2 x 30 detik atau 60 detik kemudian lakukan penilaian segera tentang upaya bernafas spontan dan warna kulit:

1) Bila frekwensi nafas normal (30-60 x/menit), hentikan ventilasi, lakukan kontak kulit ibu-bayi, lakukan asuhan normal bayi barn lahir (menjaga bayi tetap hangat, mulai memberikan ASI dm1 dan mencegah infeksi dan imunisasi)
2) Bila bayi belum bernafas spontan ulangi lagi ventilasi selama 2 x 30 detik atau 60 detik kemudian lakukan penilaian ulang.
3) Bila frekwensi nafas menjadi normal (30-60 x/menit) hentikan ventilasi lakukan kontak kulit it lakukan asuhan normal bayi barn lahir.


4) Bila bayi bernafas, tetapi terlihat retraksi dinding dada, lakukan ventilasi dengan menggunakan oksigen (bila tersedia)
5) Bila bayi tidak bernafas, megap-megap, teruskan bantuan pernafasan dengan ventilasi.
6) Lakukan penilaian setiap 30 detik dengan menilai usaha bernafas denyut jari tung dan warna kulit
7) Jika bayi tidak bernafas secara teratur setelah ventilasi 2-3 menit, rujuk ke fasilitas pelayanan perawatan bayi resiko tinggi.
8) Jika tidak ada nafas sama sekali dan tidak ada perbaikan frekwensi denyut jari tung bayi setelah ventilasi selama 20 menit, hentikan ventilasi, bayi dinyatakan meninggal (jelaskan kepada keluarga bahwa upaya pertolongan gagal) dan beri dukungan emosional pada keluarga.
(Rachimhadi et al :1997)

5 Tinggalkan komentar: