FOTOTERAPI PADA IKTERIK NEONATUS




Seorang bayi laki-laki dengan berat 3400 gram lahir dengan usia gestasi 37 minggu dari kehamilan yang normal. Ibunya adalah seorang primipara berusia 24 tahun yang memiliki darah tipe A Rh-positif. Kondisi bayi pada perawatan di rumah sakit berjalan tanpa komplikasi. Walaupun ibunya sangat membutuhkan pertolongan untuk dapat memberikan ASI secara efektif, ia mendapatkan ASI eksklusif. Kondisi ikterik tercatat muncul pada usia 34 jam. Nilai total bilirubin serum berada pada level 7,5 mg/dL (128 µmol/L). Bayi telah dikeluarkan pada usia 40 jam dan berkunjung ke bagian Pediatrik 2 hari kemudian, sekarang dengan tanda ikterik. Hasil dari pemeriksaan fisik bayi adalah sebaliknya normal, namun berat bayi, 3020 gram, 11% dibawah dari berat lahirnya. Nilai total bilirubin serumnya berada pada level 19,5 mg/dL (333 µmol/L), dan nilai bilirubin (direct) yang terkonjugasi berada pada level 0,6 mg/dL (10 µmol/L). Penghitungan darah lengkap dan apusan darah tepi normal. Bayi memiliki darah dengan tipe A Rh-positif. Dokter anak berunding dengan ahli neonatus mengenai kebutuhan akan fototerapi.

MASALAH KLINIK

Sekitar 60% bayi yang lahir normal menjadi ikterik pada minggu pertama kelahiran. Hiperbilirubinemia (indirect) yang tak terkonjugasi terjadi sebagai hasil dari pembentukan bilirubin yang berlebihan karena hati neonatus belum dapat membersihkan bilirubin cukup cepat dari darah. Walaupun sebagian besar bayi lahir dengan ikterik normal, tapi mereka butuh monitoring karena bilirubin memiliki potensi meracuni sistem saraf pusat. kadar bilirubin yang cukup tinggi dapat menyebabkan bilirubin encepalopati yang kemudian menjadi kernikterus dan bisa menyebabkan terjadinya kelainan neurologis menetap.

Data dari 11 rumah sakit di California Utara yang merupakan bagian dari Sistem Kesehatan Kaiser Permanente dan dari 18 rumah sakit Sistem Kesehatan Intermountain menyatakan bahwa nilai total bilirubin serum adalah 20 mg/dL (342 mol/L) atau lebih, dari hampir 1–2% kelahiran bayi pada usia kehamilan setidaknya 35 minggu. Penelitian berbasis rumah sakit di USA menyimpulkan bahwa 5 s.d 40 bayi dari 1000 bayi kelahiran cukup bulan dan kurang bulan memperoleh fototerapi sebelum dipulangkan dari perawatan

PATOFISIOLOGI DAN EFEK TERAPI

Bilirubin normalnya dibersihkan dari tubuh dengan konjugasi hepatik dengan asam glukoronat dan dihilangkan dalam empedu dalam bentuk bilirubin glukoronat. Ikterik neonatus berkembang dari defisiensi konjugasi sementara (eksarserbasi pada bayi preterm) digabung dengan peningkatan pemecahan sel darah merah. Kondisi patologik yang dapat meningkatkan produksi bilirubin meliputi isoimunisasi, kelainan hemolitik diturunkan, dan ekstravasasi darah (misalnya dari memar dan cephalhematoma). Kelainan genetik konjugasi bilirubin, khususnya sindrom Gillbert yang berkontribusi pada hiperbilirubinemia neonatus. Sebagian besar bayi sehat yang beresiko terjadi hiperbilirubinemia adalah bayi kurang bulan dan yang tidak disusui ASI baik. Penyusuan ASI dan asupan kalori yang buruk dipikirkan dapat menyebabkan peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik.

Penilaian yang salah adalah sinar ultraviolet (UV) (< 400 nm) yang digunakan untuk fototerapi. Sinar fototerapi saat digunakan tidak menghasilkan eritem karena radiasi UV yang bermakna.

BUKTI KLINIK

Fototerapi dilakukan pada sejumlah percobaan acak sekitar tahun 1960 sampai awal tahun 1990. Sejak alternatif efektif untuk fototerapi pada bayi dengan ikterik berat adalah transfusi tukar, penggunaan fototerapi mengalami pengurangan jumlah yang dramatis saat sejumlah transfusi tukar dilakukan. Penelitian menunjukkan bahwa ketika fototerapi sudah dilakukan, 36% bayi dengan berat kelahiran kurang dari 1500 gram memerlukan transfusi tukar. Ketika fototerapi telah digunakan, hanya 2 dari 833 bayi (0,24%) yang menerima transfusi tukar. Antara Januari 1988 dan Oktober 2007, tidak ada transfusi tukar yang dibutuhkan di NICU Rumah Sakit William Beaumont, Royal Oak, Michigan untuk 2425 bayi yang berat lahirnya kurang dari 1500 gram.

MANFAAT KLINIK

Pada bayi cukup bulan dan lewat bulan, fototerapi secara khas digunakan menurut petunjuk yang diterbitkan oleh The American Academy of Pediatrics di tahun 2004. Pertimbangan petunjuk ini tidak hanya melihat tingkat total bilirubin serum tetapi juga umur kelahiran bayi, umur bayi pada jam-jam sejak kelahiran, dan ada atau tidaknya faktor risiko, seperti penyakit hemolytic isoimmun, kekurangan enzim glucose-6-phosphate dehydrogenase, asfiksia, letargi, ketidakstabilan temperatur, sepsis, asidosis, dan hipoalbuminemia. Pada bayi prematur, fototerapi digunakan pada tingkatan yang lebih rendah dari total bilirubin serum, dan dalam beberapa unit digunakan sebagai profilaksis pada semua bayi dengan berat kelahiran lebih rendah dari 1000 gram.

Kemanjuran fototerapi tergantung pada pemancaran (keluaran energi) sumber cahaya. Pemancaran diukur dengan radiometer atau spektroradiometer dalam unit watt per centimeter persegi atau dalam μW per centimeter persegi per nanometer di atas panjang gelombang yang ditentukan. Ketika sinar diposisikan 20 cm di atas bayi, perlu diberikan suatu iradians spectral 8 sampai 10 µW per cm persegi per nm dalam 430 – 490-nm. Sedangkan lampu fluoresen biru akan mengirimkan 30 – 40 µW per centimeter peregi per nanometer. The American Academy of Pediatrics menggambarkan fototerapi intensif sebagai iradians spektral sedikitnya 30 µW per centimeter persegi per nanometer dari luas bidang yang sama yang dikirimkan ke area permukaan tubuh bayi. Hal ini dicapai dengan penggunaan sumber cahaya yang ditempatkan di atas dan di bawah bayi. Ada suatu hubungan langsung antara penggunaan pemancaran dan tingkat di mana level total bilirubin serum merosot. Petunjuk merekomendasikan standar fototerapi untuk level total bilirubin serum itu adalah 2 sampai 3 mg per deciliter ( 34 - 51 µmol per liter) lebih rendah dari cakupan fototerapi intensif yang direkomendasikan.

Dosis dan kemanjuran fototerapi dipengaruhi oleh jenis sumber cahaya. Unit fototerapi yang biasa digunakan berisi tabung fluoresen sinar terang, putih, atau biru. Bagaimanapun, saat kadar total bilirubin serum mencapai target dimana fototerapi intensif direkomendasikan, sangat penting untuk menggunakan lampu dengan emisi biru dengan pertimbangan skema di atas. The American Academy of Pediatrics sekarang ini menganjurkan lampu fluoresensi biru spesial atau lampu light-emitting diode (LED) yang telah diketahui lebih efektif untuk fototerapi pada studi klinis. Lampu halogen dengan penyaring, digabungkan dengan lampu light-emitting diode (LED), biasanya digunakan.

Dosis dan kemanjuran dari fototerapi biasanya dipengaruhi oleh jarak antara lampu (semakin dekat sumber cahaya, semakin besar irradiasinya) dan permukaan kulit yang terkena cahaya, karena itu dibutuhkan sumber cahaya di bawah bayi pada fototerapi intensif. Walaupun uji coba telah menunjukkan bahwa semakin luas permukaan kulit yang terkena, semakin berkurang pula jumlah total bilirubin serum, walaupun bayi tetap memakai popok. Jika jumlah total bilirubin serum tetap meningkat walaupun diterapi, popok harus dibuka sampai bilirubin turun secara signifikan. Kertas alumunium atau kain berwarna putih diletakkan pada mata bayi untuk memantulkan cahaya yang akan mempengaruhi kemanjuran dari fototerapi. Karena cahayanya dapat menyebabkan efek toksik pada retina yang immature, sehingga mata bayi harus selalu dilindungi dengan penutup mata yang tidak tembus cahaya.

Keefektifan terapi tidak hanya tergantung pada kadar cahaya tetapi juga tergantung pada tingkat keparahan hiperbilirubinemia. Selama proses hemolisis yang aktif, jumlah total bilirubin serum tidak turun secara cepat seperti pada bayi tanpa proses hemolisis. Fototerapi lebih efektif pada daerah yang memiliki kadar bilirubin tinggi meskipun fototerapi juga pada bilirubin di kulit dan jaringan subkutan superfisial. Pada bayi yang sama dengan jumlah total bilirubin serum lebih dari 30 mg/dL (513 µmol/L), fototerapi yang intensif dapat menghasilkan penurunan hingga 10 mg/dl (171 µmol/L) dalam beberapa jam.

Hemolisis kemungkinan besar penyebab dari hiperbilirubinemia pada bayi yang dirawat dengan fototerapi selama di rumah sakit. Fototerapi pada bayi yang dirawat selama di rumah sakit dianjurkan pada jumlah total bilirubin serum yang rendah. Karena kedua alasan tersebut, jumlah total bilirubin serum cenderung turun secara perlahan pada sebagian bayi. Walaupun tidak ada ketetapan standar untuk menghentikan terapi, fototerapi dapat dihentikan secara aman pada bayi yang dirawat di rumah sakit jika jumlah total bilirubin serum turun dibawah jumlah ketika fototerapi dimulai. Pada sebagian pasien, fototerapi yang intensif dapat menurunkan 30 hingga 40% pada 24 jam pertama, dengan penurunan terjadi pada 4 – 6 jam pertama; fototerapi dapat dihentikan jika jumlah total bilirubin serum turun hingga dibawah 13 sampai 14 mg/dL (222 sampai 239 µmol/L).

Tercapainya jumlah total bilirubin serum 1 sampai 2 mg/dL (17 sampai 34 µmol/L) dan adakalanya lebih dapat terjadi saat fototerapi dihentikan. Bayi dengan peningkatan risiko kembali secara klinis adalah yang lahir dengan usia kehamilan dibawah 37 minggu, dengan penyakit hemolitik, dan dengan fototerapi pada waktu dirawat di rumah sakit. Pada bayi yang memerlukan fototerapi selama dirawat di rumah sakit dan bayi yang memiliki penyakit hemolitik, perlu dikaji jumlah bilirubin yang harus didapat dalam 24 jam.

Fototerapi di rumah lebih cocok bagi bayi dengan jumlah total bilirubin serum 2-3 mg/dL di bawah yang rekomendasi yang mesti difototerapi di rumah sakit.
Cahaya matahari dapat menurunkan jumlah bilirubin serum, tapi praktiknya lebih sulit dan membutuhkan paparan yang aman pada bayi baru lahir.

EFEK SAMPING

Laporan klinis tentang toksisitas yang signifikan pada fototerapi sangat jarang. Pada bayi dengan cholestasis (hiperbilirubinemia direct), fototerapi dapat mengurangi ‘bronze baby syndrome’, termasuk pada kulit, serum, dan urin yang bertambah gelap, perubahan warna menjadi coklat keabu-abuan. Patogenesis dari kondisi ini, hanya terdapat pada bayi dengan cholestasis tapi tidak sepenuhnya diketahui. Purpura dan erupsi bullous jarang dilaporkan pada bayi dengan ikterik cholestasis berat yang menerima fototerapi, yang terjadi kemungkinan adalah hasil dari sensitisasi oleh akumulasi pophyrin. Rash eritem dapat muncul pada bayi yang diterapi dengan tin-meroporphyrin (merupakan obat percobaan yang digunakan untuk mencegah dan mengobati hiperbilirubinemia) kemudian yang diekspose oleh sinar matahari atau lampu floeresent pada siang hari. Porphyria congenital, terdapat riwayat porphyria pada keluarga dan bersamaan dengan penggunaan obat fotosensitizing atau agen lain yang merupakan kontraindikasi absolut terhadap fototerapi, panas yang berat, dan agitasi selama fototerapi dapat menjadi tanda dari porphyria congenital.

Fototerapi tradisional dapat mengurangi perubahan akut pada suhu lingkungan infant, terutama pada peningkatan aliran darah perifer dan kehilangan air. Hal yang ditemukan ini tidak dapat dipelajari dengan LED, yang mana karena output panas mereka relatif rendah, sehingga kurang lebih sama dengan penyebab kehilangan cairan yang tidak disadari. Bayi yang lahir cukup bulan dengan perawatan dan makanan yang mencukupi, penambahan cairan intravena selalu tidak diperlukan

Studi yang dilakukan mempecayakan bahwa fototerapi yang intensif akan meningkatkan angka atypical melanocyt nevi yang diidentifikasi pada usia sekolah. Walaupun penelitian lain tidak menunjukkan hubungan ini. Fototerapi intensif tidak menyebabkan hemolisis. Studi-studi Swedia mengatakan bahwa fototerapi dihubungkan dengan diabetes tipe 1 dan mungkin asma. Karena birirubin adalah antioksidan yang kuat, penurunan angka total bilirubin serum, terutama pada bayi dengan BBLR dapat menyebabkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan tapi tidak ada yang dapat diidentifikasi secara jelas.

REKOMENDASI

Bayi yang digambarkan adalah bayi dengan kelahiran pada usia kehamilan 37 minggu dan tidak ada riwayat penyakit hemolitik. Dengan level total bilirubin serum 19,5 mg/dL, ia memperkenalkan kriteria dari The American Academy of Pediatrics untuk administrasi rumah sakit dan fototerapi intensif (menetapkan penyinaran paling sedikit 30 mikrowatt/cm/nm dalam spektrum biru yang dilepaskan pada area permukaan secara menyeluruh). Kami setuju dengan rekomendasi ini. Seperti terapi yang lain dapat diharapkan untuk mengurangi level dari total bilirubin serum yaitu 30-40% dalam 24 jam. Kami merekomendasikan terapi ini dilanjutkan sampai levelnya turun dibawah 13-14 mg/dL. Dan lagi, hilangnya 11% dari berat lahirnya memberi kesan bahwa asupan kalori tidak adekuat dan kemungkinan dehidrasi hipernatremi. Tergantung pada ukuran elektrolit, bayi dapat membutuhkan cairan Intravena. Menyusui dapat dilanjutkan meskipun dilihat dari kehilangan berat badan. Saat di rumah sakit ia mungkin membutuhkan suplemen yaitu susu formula. Ini sangat penting untuk proses peninjauan pada penggunaan ASI


KELAINAN METABOLISME DAN KELAINAN ENDOKRIN SERTA PENATALAKSANAANNYA
ASUHAN NEONATUS DENGAN JEJAS PERSALINAN
Jejas lahir merupakan istilah untuk menunjukkan trauma mekanik yang dapat dihindari atau tidak dapat dihindari, serta trauma anoksia yang dialami bayi selama kelahiran dan persalinan. Beberapa macam jejas persalinan yang akan dibahas, antara lain :
1. Caput Suksadenum
Caput suksadenum adalah pembengkakan yang edematosa atau kadang-kadang ekimotik dan difus dari jaringan lunak kulit kepala yang mengenai bagian yang telah dilahirkan selama persalinan verteks. Edema pada caput suksadenum dapat hilang pada hari pertama, sehingga tidak diperlukan terapi. Tetapi jika terjadi ekimosis yang luas, dapat diberikan indikasi fototerapi untuk kecenderungan hiperbilirubin.
Kadang-kadang caput suksadenum disertai dengan molding atau penumpangan tulang parietalis, tetapi tanda tersebut dapat hilang setelah satu minggu.
2. Sefalhematoma
Sefalhematoma merupakan perdarahan subperiosteum. Sefalhematoma terjadi sangat lambat, sehingga tidak nampak adanya edema dan eritema pada kulit kepala. Sefalhematoma dapat sembuh dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan, tergantung pada ukuran perdarahannya. Pada neonatus dengan sefalhematoma tidak diperlukan pengobatan, namun perlu dilakukan fototerapi untuk mengatasi hiperbilirubinemia. Tindakan insisi dan drainase merupakan kontraindikasi karena dimungkinkan adanya risiko infeksi. Kejadian sefalhematoma dapat disertai fraktur tengkorak, koagulopati dan perdarahan intrakranial.
3. Trauma pleksus brakialis
Jejas pada pleksus brakialis dapat menyebabkan paralisis lengan atas dengan atau tanpa paralisis lengan bawah atau tangan, atau lebih lazim paralisis dapat terjadi pada seluruh lengan. Jejas pleksus brakialis sering terjadi pada bayi makrosomik dan pada penarikan lateral dipaksakan pada kepala dan leher selama persalinan bahu pada presentasi verteks atau bila lengan diekstensikan berlebihan diatas kepala pada presentasi bokong serta adanya penarikan berlebihan pada bahu.
Trauma pleksus brakialis dapat mengakibatkan paralisis Erb-Duchenne dan paralisis Klumpke. Bentuk paralisis tersebut tergantung pada saraf servikalis yang mengalami trauma.
Pengobatan pada trauma pleksus brakialis terdiri atas imobilisasi parsial dan penempatan posisi secara tepat untuk mencegah perkembangan kontraktur.
4. Fraktur klavikula
Tanda dan gejala yang tampak pada bayi yang mengalami fraktur klavikula antara lain : bayi tidak dapat menggerakkan lengan secara bebas pada sisi yang terkena, krepitasi dan ketidakteraturan tulang, kadang-kadang disertai perubahan warna pada sisi fraktur, tidak adanya refleks moro pada sisi yang terkena, adanya spasme otot sternokleidomastoideus yang disertai dengan hilangnya depresi supraklavikular pada daerah fraktur.
5. Fraktur humerus
Pada fraktur humerus ditandai dengan tidak adanya gerakan tungkai spontan, tidak adanya reflek moro.
Penangan pada fraktur humerus dapat optimal jika dilakukan pada 2-4 minggu dengan imobilisasi tungkai yang mengalami fraktur

Jangan Meremehkan Sesak Napas Pada Bayi Baru Lahir
Eventratio diaphragmatica merupakan kelainan yang terjadi pada otot diaphragma. Otot ini merupakan sekat antara rongga dada dan rongga perut yang merupakan salah satu alat untuk bernapas.
Semestinya, disaat seseorang mengambil napas, otot diaphragma akan bergerak turun, atau sebaliknya bila mengeluarkan nafas akan bergerak naik. Pada kasis eventratio diaphragmatica gerajan tadi jadi terbalik, yang seharusnya bergerak naik ketika menarik napas, malah bergerak turun, dan sebaliknya, sehingga terjadi gerakan otot yang semaunya. Kelainan tersebut terjadi karenan otot daphragma lemah atau mengalami paralisis alias kelumpuhan. Paralisis selanjutnya berpengaruh pada perkembangan paru-paru. Paru-paru jjadi sukar berkembang yang kemudian menyebabkan si anak kesulitan bernapas.
Secara klinis, kelainan ini dapat dilihat dari gejala sesak napas yang dialami seorang bayi begitu ia baru lahir. Gejalanya dapat tampak ringan, sedang, atau berat. Meski mulanya sesak napas yang dialami keliahat ringan, bukan tak mungkin sesak napas yang lebih berat baru muncul saat usa si bayi semakin bertambah, misalkan setelah ia berusia dua minggu.
Untuk mengatasinya, si bayi dapat dibantu dengan alat pernapasan, jika kelainannya bersifat ringan. Penyakit ini dapat disembuhkan dalam dua bulan, bila kadarnya termasuk sesak napas yang ”sedang”. Dengan bantuan alat yang diberikan dengan tekanan-tekanan tertentu dapat membantu proses kesembuhan si bayi. Tapi, kalau kian lama gangguan pernapasan makin memburuk, maka diperlukan tindakan operasi. Setelah dilakukan operasi, kondisi si bayi berangsur membaik, maka bayi tersebut akan tumbuh normal seperti bayi pada umumnya, sebab gerakan sekat atau diaphragmanya sudah kembali normal.
Meski kelainan ini bertalian dengan pernapasan, penyebabnya bukan berasal dari luar seperti kebiasaan ibu merokok. Tetapi biasanya karenan trauma lahir, diantaranya pada kelahiran letak sungsang . Sebab dalam proses kelahiran sungsang, pada saat menarik kepala bayi, dapat terjadi trauma pada salah satu sarag yang melalui leher ke diaphragma. Saraf ini kemudian jadi lemah dan akan mempengaruhi lemah kuatnya persarafan pada dinding diaphragma. Biasanya yang terkana adalah diaphragma sebelah kiri. Kendati demikian, dapat dikatakan tidak semua kasus kelahiran sungsang akan mengalami kejadian seperti ini. Kasus ”eventratio diaphragmatica” jarang terjadi. Biasanya hanya suatu kebetulan saja.

bayi tidur tengkurap beresiko mati mendadak

SINDROM Kematian Bayi Mendadak atau biasa disebut SIDS (Sudden Infant Death Syndrome) hingga kini belum diketahui secara pasti apa penyebabnya dan masih menjadi tanda tanya besar hingga kini. Walau demikian hal tersebut kerap terjadi pada bayi berusia di bawah 1 tahun.

Menurut dr Aperita Adiyanti SpA, dari RS. Yadika Kebayoran Lama, SIDS juga biasa dikenal dengan sebutan crib death atau kematian ranjang karena kebanyakan kasus SIDS terjadi ketika bayi berada di ranjangnya. Namun bukan berarti ranjanglah (crib) yang menjadi biang kerok kematian mendadak ini (SIDS).


Tahukah Anda:

1. SIDS adalah penyebab utama kematian bayi berusia antara 1 s/d 12 bulan.

2. Sebagian besar kematian SIDS terjadi pada bayi berusia di bawah 6 bulan.

3. Bayi dengan posisi tidur tengkurap di atas perutnya lebih berisiko mengalami kematian akibat SIDS dibandingkan dengan bayi yang tidur dengan posisi terlentang.

4. Bayi cenderung mengalami kematian akibat SIDS apabila diletakkan di kasur yang terlalu empuk atau terselimuti kain yang lembut.


Bagaimana Mencegah SIDS:

1. Selalu letakkan bayi Anda dalam posisi terlentang ketika ia sedang tidur, walaupun saat tidur siang. Posisi ini adalah posisi yang paling aman bagi bayi yang sehat untuk mengurangi risiko SIDS.

2. Jangan pernah menengkurapkan bayi secara sengaja ketika bayi tersebut belum waktunya untuk bisa tengkurap sendiri secara alami.

3. Gunakan kasur atau matras yang rata dan tidak terlalu empuk. Penelitian menyimpulkan bahwa risiko SIDS akan meningkat drastis apabila bayi diletakkan di atas kasur yang terlalu empuk, sofa, bantalan sofa, kasur air, bulu domba atau permukaan lembut lainnya.

4. Jauhkan berbagai selimut atau kain yang lembut, berbulu dan lemas serta mainan yang diisi dengan kapuk atau kain dari sekitar tempat tidur bayi Anda. Hal ini untuk mencegah bayi Anda terselimuti atau tertindih benda-benda tersebut.

5. Pastikan bahwa setiap orang yang suka mengurus bayi Anda atau tempat penitipan bayi untuk mengetahui semua hal di atas. Ingat setiap hitungan waktu tidur mengandung risiko SIDS.

6. Pastikan wajah dan kepala bayi Anda tidak tertutup oleh apapun selama dia tidur. Jauhkan selimut dan kain penutup apapun dari hidung dan mulut bayi Anda.

7. Pakaikan pakaian tidur lengkap kepada bayi Anda sehingga tidak perlu lagi untuk menggunakan selimut. Tetapi seandainya tetap diperlukan selimut sebaiknya Anda perhatikan hal-hal berikut ini:
-Pastikan kaki bayi Anda berada di ujung ranjangnya.
-Selimutnya tidak lebih tinggi dari dada si bayi.
-Ujung bawah selimut yang ke arah kaki bayi, Anda selipkan di bawah kasur atau matras sehingga terhimpit.

8. Jangan biarkan siapapun merokok di sekitar bayi Anda khususnya Anda sendiri. Hentikan kebiasaan merokok pada masa kehamilan maupun kelahiran bayi Anda dan pastikan orang di sekitar si bayi tidak ada yang merokok.

9. Jangan biarkan bayi Anda kepanasan atau kegerahan selama dia tidur. Buat dia tetap hangat tetapi jangan terlalu panas atau gerah. Kamar bayi sebaiknya berada pada suhu yang nyaman bagi orang dewasa. Selimut yang terlalu tebal dan berlapis-lapis bisa membuat bayi Anda terlalu kepanasan.

10. Temani bayi Anda saat ia tidur. Jangan pernah ditinggal-tinggal sendiri untuk waktu yang cukup lama.