Perkawinan
Suatu Peristiwa dimana sepasang mempelai atau sepasang calon suami istri dipertemukan secara formal dihadapan penghulu/kepala agama tertentu, para saksi dan sejumlah hadirin, untuk kemudian disyahkan secara resmi sebagai suami istri dengan upacara dan ritus-ritus tertentu.
Peristiwa perkawinan merupakan suatu bentuk proklamasi, dimana secara resmi sepasang pria dan wanita diumumkan untuk “saling memilki satu sama lainnya” dan kedua pribadi yang berlainan jenis itu kemudian dipaterikan menjadi satu DWITUNGGAL atau satu WIRHEIT yang utuh.
Perkawinan umumnya dirayakan secara meriah, didiringi dengan upacara-upacara, peristiwamakan-minum yang cukup mahal, dan perayaan atau beberapa keramaian. Perkawinan dikalangan elite, senantiasa didikuti dengan pesta perayaan dan keramaian besar-besaran, yang menelan biaya berpuluh-puluh atau ratusan juta rupiah, dan ada yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam lamanya.
Jika pada zaman purba seorang laki-laki itu menerkam serta menyeret “korbannya” kedalam gua tempat kediamannya untuk dijadikan isteri atau teman berkumpul, maka pada zaman sekarang seorang pria umumnya harus memboyong calon isterinya dengan upacara kebesaran dan seremoni perkawinan. Yang paling penting dalam perkawinan tersebut ialah disertakannya beberapa regulasi atau tata-aturan. Regulasi ini pada beberapa aliran agama tertentu berlangsung secara kompleks sekali, sehingga system perkawinan tadi tampak sangat rumit.
Regulasi dan beberapa retriksi dalam peristiwa perkawinan tadi antara lain meliputi faktor : umur, seks, upacara perkawinan, pembayaran uang nikah, hak dan kewjiban suami isteri, batas-batas kekuasaan sebagai suami, pembagian harta dan waris, peraturan perceraian, hak dan kewajiban memelihara anak keturunan, dan lain sebagainya. Regulasi social mengenai perkawinan kita jumpai pula pada banyak suku bangsa-bangsa primitive yang mempunyai kebudayaan yang relative sangat rendah.
Tujuan regulasi bukan untuk menghalang-halangi peristiwa perkawinan, akan tetapi justru untuk menjamin kerukunan kedua belah pihak (suami-isteri) dan melindungi masyarakat. Regulasi dalam perkawinan ini bobotnya sama beratnya dengan hokum-hukum social lainnya ; yaitu berlandasakan pada kepentingan insaniah, dan bermaksud melindungi individu serta masyarakat dari perbuatan menyimpang dari norma sosial.
Semakin banyak terdapat penduduk didunia ini dan semakin beraneka ragam kegiatan manusia dalam kehidupan sehari-hari, maka semakin perlu pula masyarakat manusia diorganisir dan diatur. Sehubungan dengan itu juga perlu adanya regulasi social dalam hal perkawinan, untuk menciptakan ketenangan dan menjamin security terhadap pasangan-pasangan keluarga.
Senyatanyalah, bahwa kebudayaan manusia itu seluruhnya berdiri diatas landasan norma-norma, untuk menetapkan batas-batas hak dan kewajiban setiap individu. Dengan pengaturan tersebut dapat diciptakan tingkah laku yang bisa dikendalikan dalam orde tertentu. Oleh karena itu adanya hokum dan regulasi terhadap perkawinan tidak merupakan peristiwa yang berlebih-lebihan, akan tetapi justru merupakan satu kebutuhan sosial.
Sekalipun proses menyeleksi calon jodoh dan memperistri/ mempersuami seseorang itu adalah murni masalah pribadi, sehingga tidak diperlukan adanya control pihak luaran, akan tetapi perlu kiranya perkawinan itu diatur dengan peraturan yang cukup ketat untuk menjamin sekuriti pribadi dan stabilitas social. Sehingga tercegah perbuatan merampas hak dan anak istri orang lain, relasi sexsual yang awut-awutan, dan struktur social yang anarkistis.
Mungkin oleh adanya peraturan-peraturan perkawinan itu ada beberapa pihak yang merasa dirugikan. Akan tetapi regulasi social ini diperlukan sekali untuk menjamin :
1. Ditegakkannya kesejahteraan social
Baik untuk setiap individu maupun untuk kelompok-kelompok social. Sebab, pada banyak peristiwa, kesalahan-kesalahan pola hidup yang serius bisa dicegah , dan kesejahteraan setiap keluarga serta masyarakat bisa lebih terjamin, dengan diciptakannya hukum-hukum perkawinan yang lebih baik.
Retriksi dalam perkawinan itu perlu, antara lain:
2. Mencegah perkawinan dengan keluarga sangat dekat ;
Yaitu mencegah incest dan inteelt, hingga lebih terjamin kelestarian umat manusia.
3. Larangan dan peraturan kawin kadang kala diperlukan berlandaskan pada alasan-alasan eugenic (untuk memuliakan/memperbaiki ras).Umpana saja larangan kawin lagi bagi orang gila, lemah ingatan berat, penderita penyakit epilepsi (ayan), dan para penderita penyakit mental berat lainnya orang-orang yang defektif mentalnya dianggap tidak mampu menjamin kestabilan perkawinannya, karena secara mental mereka tidak mampu menanggapi kesulitan hidupnya. Sekaligus dapat dicegah pula berkembang biaknya keturunan yang berpenyakit mental.
4. Larangan kawin juga diadakan terhadap mereka yang masih menderita penyakit sipilis dan gonorrhea, karena dua jenis penyakit ini merupakan ancaman besar bagi kesejahteraan fisik dan psikis setiap keluarga. Lagi pula kedua penyakit tersebut juga bisa mengakibatkan cacat fisik dan cacat mental pada penderita sendiri dan pada anak keturunannya.
5. Selanjutnya hukum dan undang-undang perkawinan diperlukan untuk mencegah timbulnya perceraian sewenang-wenang.
6. Juga mencegah perlakuan yang tidak adil oleh salah satu pihak, melarikan diri (meninggalkan anak istri tanpa memberikan jaminan hidup) dan macam-macam tingkah laku yang tidak bertanggung jawab lainnya. Dengan demikian akan terjamin kebahagiaan setiap individu, kelestarian setiap keluarga, dan kestabilan struktur masyarakat.
ALASAN UNTUK KAWIN
Alasan dan motifasi untuk melakukan perkawinan itu ada bermacam-macam. Umpama saja alasan-alasan sebagai berikut :
1. Distimulir oleh dorongan-dorongan romantik
2. Hasrat untuk mendapatkan kemewahan hidup
3. Ambisi besar untuk mencapai status social tinggi
4. Keinginan untuk mendapatkan asuransi hidup dimasa tua
5. Keinginan untuk mendapatkan kepuasan seks dengan partnernya
6. Hasrat untuk melepasakan diri dari belenggu kungkungan keluarga atau orang tua
7. Dorongan cinta terhadap anak
8. Keinginan untuk mengabdikan nama leluhur
9. Malu kalau sampai disebut sebagai “gadis tua”
10. Motif-motif tradisional, dan berbagai macam alasan lainnya.
Akan tetapi semua alasan ini bisa dikatakan minor jika dibandingkan dengan alasan yang lebih primer yaitu:
Hasrat berdampingan hidup bahagia bersama dengan pribadi yang dicintai. Khususnya dengan perkawinan orang mengharapkan bisa mendapatkan pengalaman hidup baru bersama-sama dengan seseorang yang secara ekslusif menjadi “miliknya” untuk mendapatkan pengakuan social dan jaminan hidup sepanjang hayat.
Dalam struktur masyarakat modern yang matrealistis pada zaman sekarang, banyak terdapat disparitas mencolok antara sikaya dan simiskin. Dalam struktur social semacam ini motif-motif ekonomis sangat besar peranannya dalam menentukan proses perkawinan. Perkawinan sering diekonomisasikan atau dikomersialisasikan dijadikan suatu usaha yang secara ekonomis bisa memberikan keuntungan.
Sebagai contoh adalah peristiwa sebagai berikut : Untuk bisa memasuki suatu Negara guna mendapatkan suatu lapangan pekerjaan tertentu, para imigran banyak yang terpaksa mengawini wanita atau laki-laki dari Negara tersebut, sekalipun wanita atau laki-laki tadi tidak pernah dikumpulinya, untuk selanjutnya diceraikannya beberapa jam atau beberapa hari kemudian. Dalam formalitas perkawinan itu yang terpenting ialah diperolehnya surat pengakuan kewarganegaraan, dengan mana kaum emigran tadi bisa memasuki Negara yang bersangkutan, sehingga bisa mendapatkan pekerjaan dan satu lapangan hidup baru.
Contoh lain ialah sebagai berikut : Dinegara-negara Eropa yang telah sedemikian majunya, banyak wanita bisa mendapatkan lapangan kerja sendiri dan mampu membiayai diri sendiri, persis sama dengan kemampuan seorang laki-laki yang sanggup membiayai/memelihara seorang istri. Juga kaum prianya. Sekalipun mereka itu hidup membujang, namun mereka tidak mendapatkan banyak kesukaran dalam hal masak-memasak, mencuci pakaian atau berbelanja. Hal ini disebabkan karena banyaknya fasilitas yang diberikan oleh rumah-rumah makan, cafeteria-cafetaria, tokoh-tokoh serba ada dan binatu-binatu. Sehubungan dengan kemudahan tersebut tidak perlu para pria mengawini seorang wanita untuk memperingan pekerjaa mengurus rumah tangga. Juga tidak perlu pula wanita kawin untuk mendapatkan jaminan hidup sepanjang hayatnya.
Akan tetapi, sekalipun demikian, kebanyakan dari penduduk dinegara-negara Eropa itu toh hidup bersama dalam susunan struktur keluarga ; karena hal ini lebih ekonomis, dan orang bisa lebih berhemat. Jadi, perkawinan-perkawinan tersebut banyak didorong oleh motif-motif ekonomis.
Pada banyak peristiwa, relasi suami istri menjadi semakin kokoh dengan benalunya waktu. Hal ini terutama disebabkan karena kedua orang itu secara terus-menerus disibukkan oleh masalah hidup dan kesulitan yang sama, serta menghayati interest yang sama setiapharinya. Selanjutnya, kebahagiaan dan kemesraan dalam perkawinan bisa mencapai puncak karena kedua belah pihak bisa menikmati klimaks dari passie seks.
Lagi pula, perkawinan bisa manyajikan pada sepasang suami istri satu bentuk perkawinan paling intim serta palaing komplit dengan seseorang yang paling dicintai dan didukung oleh pengakuan social serta sanksi-sanksi tertentu oleh masyarakat. Selanjutnya dengan perkawinan itu seseorang tidaka hanya akan mendapatkan pengakuan social serta status social saja akan tetapi juga jaminan security materiil dan social. Dan yang paling mutlak diperlukan ialah : jaminan cinta kasih dari pribadi yang dicintainya. Inilah justru yang menjadi semen pengokoh bagi perkawinan atau rumah tangga.
Dengan hadirnya bayi pertama sebagai produk dari cinta kasih suami istri yang saling menyayang maka suatu bentuk kemesraan baru muncul ditengah keluarga, yang memperkokoh cinta kasih suami istri yang telah ada. Hadirnya bayi ini menumbuhkan suatu mekanisme penyesuaian diri yang baru pada kedua suami istri baik terhadap satu sama lainnya, maupun terhadap anaknya yang baru lahir. Hal ini disebabkan karena fungsi ayah ibu menyajikan pola hidup baru yaitu merawat dan mendidik anak keturunannya dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan tanggung jawab merawat, mengasuh, dan mendidik anak yang harus dipelajarinya lagi.
Sebenarnyalah, bahwa anak-anak banyak menuntut perhatian, bantuan dan pemeliharaan dari orang tuanya sehingga peristiwa ini sangat membatasi gerak langkah orang tua dalam kehidupan social sehari-hari. Bahkan kemesraan serta ekslusifitas relasi antara suami dan istri itu menjadi agak berkurang dengan hadirnya sibayi atau anak-anak lainnya.
Ketidakberdayaan anak menyajkan satu apple terhadap kedua orang tuanya dan ini merupakan suatu beban baru bagi orang tua untuk secara bersungguh-sungguh memelihara dan mendidik anaknya. Namun demikian, beban yang ditimbulkan oleh anak-anak tersebut meemberiakan tantangan, gairah dan restu kebahagiaan tertentu kepada orang tuanya. Sebab pada umumnya orang tua beranggapan bahwa anak mereka adalah milik yang paling tinggi nilanya didunia, sehingga anak-anak itu cukup berharga untuk dibela secara bersungguh-sungguh dengan begitu anak memberikan arti tersendiri (yang besar ) bagi kehidupan orang tuanya.
Ringkasnya, didorong oleh :
1. Sayang anak dan oleh
2. Naluri ingin melanggengkan generasi manusia sepanjang zaman maka orang melakukan perkawinan dan hidup berkeluarga.
Alasan Untuk Tidak melakukan Perkawinan
Alaan untuk melakukan erkawinann ; yait perkawinan sebagaisalah satu persyaratan untuk melengkapi atau menyempurnakan hidup,sehingga perkawinan itu dianggap s4bagai indah –agung- suci.namun ada kelompok orang lainyang beranggapan bahwa kawin itu tidak mutlak perlu.AEgda beberapa alasan untuk tidak kawin yang di kemu kakan oleh golongan terakhir
1. Tidak pernah mencapai usia kematangan yang sebenarnya.Kematangan itu pada hakekatnya tidak hanya secara khronologis,fisis dan mental saja,akan tetapi juga harus mencapai taraf kemartangan social
2. Identifikasi secara ketat terhadap orang tua,yaitu fisasi ibu,fiksasi ayah .jika seorang anak gadis terlapau mutlak mengadakan identifikasi terhadap ayahnya( fiksasi ayah,ada kompleks Elektra) dan begitu erat – terikat pada ayahnya,makaakan terjadi dependensi emosional yang ekstrim sampai usia Dewasa . Sebagai akibatnya akan sukar baginya menemukan seorang pacar atau calon suami yang sesuai dengan selera hatinya , Relasinya dengan setiap kawan pria senantiasa kurang sukses .Selalu saja ia cepat – cepat kembali kehariban ayahnya ,miminta konsultasi dan perlindungan pada setiap tetek bengek kesulitan
3. Egosentrisme dan narsisme yang berlebih-lebihan. Ada pribadi-pribadi tertentu yang sangat egosentris dan egoistis, dengan rasa keakuan ( selfishness ) dan cinta diri sendiri yang berlebihan. Cinta diri sendiri/ narsime yang ugahari (sedang, matig) itu adalah normal, bahkan sangat perlu untuk mempertahankan harga diri dan harkat pribadi. Akan tetapi jika sifat itu berlebihan maka akan mempersukar daya penyesuaian diri seseorang terhadap orang lain, terlebih terhadap suami atau istrinya. Orang-orang yang sangat egoistis dan narsistis ini biasanya tidak “laku” kawin atau dia sendiri lebih menyukai pola hidup “sorangan wae” (menyendiri) sepanjang hidupnya.
4. Musim-pasang dari kebudayaan individualisme.
Tampaknya seperti paradoksal, bahwa berbareng dengan mutlak perlunya kooperasi di bidang politik dan ekonomi di seluruh dunia (secara universal), justru berkembang biak pola individualistis pada tingkah laku person.
Hal ini disebabkan oleh factor sbg:
• Semakin meningkatnya bidang ilmu pengetahuan, yang membanggakan prestasi individual dan prestasi intelektual
• Semakin mundurnya peranan agama dan maklin populernya sekularisme
• Pengaruh urbanisasi yang sangat mengurangi adanya kontak primer, serta menstimulir timbulnya kontak-kontak impersonal
• Kebudayaan “modern” yang menyebarluaskan “ekspresi-diri bebas” dan “moralitas baru bagi setiap individu” sehingga setiap oknum berhak memformulasikan kode-kode moral sendiri (ada pembenaran diri sendiri/ selfjustification dan rasionalisasi)
Semua peristiwa itu memberikan kontribusi sangat besar bagi berkembangnya filsafat individualisme.
Sentimen dan filsafat individualisme yang semakin subur memberikan dampak merusak bagi perkawinan, karena meminimalisir keediaan untuk bersikap toleran, berkorban diri, dan kesediaan menyelaraskan diri dengan partner hidup masing-masing. Sebab orang lebih menekankan hak-haknya dan melupakan kewajibannya. Teori inividualistis dengan semboyan “tidak mengenal kompromi” ini mempersulit kesediaan untuk melakukan perkawinan karena masing-masing individu mempertahankan kebiasaan sendiri, serta melanjutkan pola hidup lama masing-masing.
Anonimitas kota-kota besar mengundang kedatangan para tuna susila. Juga memungkinkan praktek “hidup bersama” atau “kumpul kebo” di luar norma-norma hukum formal. Motivasi “hidup bersama” di luar norma hukum atau “kumpul kebo” ini antara lain adalah:
1. Lebih ekonomis, karena tidak memerlukan pengeluaran uang untuk upacara-upacara resmi dan tidak membayar bea nikah serta mas kawin. Tanpa mengikuti norma-norma hukum dengan macam-macam restriksi social, relasi hidup bersama itu terasa lebih longgar edan lebih ekonomis.
2. Menghindari bermacam tanggung jawab dalam perkawinan, sehingga ada lebih banyak kebebasan untuk menyeleksi partner, berpisah, danberganti kawan serumah, juga lebih merdeka dalam bertingkahy laku, karena tidak diikat oleh norma-norma tertentu.
3. Bisa memuaskan kelaparan seksualm (khususnya secara fisik) dengan relasi-relasi seksual klandestin.
4. Di samping beberapa alasan kurang mapan yang disebutkan di atas masih adav motivasi-motivasi lain yang luhur, sehingga menyebabkan pribadi-pribadi tertentu tidak bersedia untuk kawin.
Artikel ini Bahan Ajar Dari Buk Wisnatu Izzati, sst untuk Prodi D3 Kebidanan STIKES YARSI BKT