SEKILAS TENTANG MUSTHAFAWIYAH

Nun di provinsi sisi barat, adalah pesantren yang hampir seabad usianya (1912). Ma`had Almusthafawiyah sangat dikenal di Sumatra Utara karena lulusannya yang telah menyebar ke mana-mana. Pesantren ini didirikan Syekh Kiyai H. Musthafa Husein Nasution, di Desa Purbabaru, Kecamatan Lembah Sorik Marapi, Mandailing Natal, sekitar 12 jam perjalanan dari Medan. Di lahan seluas 10 hektare itu saat ini dihuni sekitar 8.000 santri. Tercatat asal santri selain dari beberapa daerah di Indonesia antara lain Malaysia dan Singapura. Di bulan Ramadan hingga 2 minggu setelah Idul Fitri pesantren libur panjang.

Syekh Musthafa, sang pendiri, yang belajar ilmu agama selama 13 tahun di Makkah itu meninggal pada November 1955. Pimpinan pesantren berpindah kepada anak lelaki tertuanya, H. Abdullah Musthafa. Warisan yang ditinggalkan hanya satu unit bangunan papan dengan enam ruangan kelasnya.

Ternyata, jumlah santri yang ingin memperdalam ilmu agama semakin meningkat dari tahun ke tahun, apalagi Almusthafawiyah mulai menerima santriwati. Karena itu, Haji Abdullah Musthafa pun membeli tanah di lokasi Kampung Tengah Purbabaru dan membangun tiga ruang belajar darurat. Ruang belajar itu hanya berdinding bambu, beratap rumbia, dan berlantai tanah. “Herannya, jumlah santri yang ingin belajar bukannya tambah surut malah bertambah banyak,” tutur Hajjah Zahara Hanum Lubis, istri H. Abdullah Musthafa Nasution (almarhum) yang mengelola asrama putri.

Pada tahun 1960 dibangun lagi satu unit gedung dengan sepuluh ruang belajar. Kali ini bangunannya sudah semipermanen. Pada tahun 1962, ruang belajar yang dibangun dari sumbangan para orang tua santri berupa sekeping papan dan selembar seng setiap orangnya ditambah tabungan H. Abdullah Musthafa Nasution itu selesai. Bangunan ini diresmikan Jenderal Purnawirawan Abdul Haris Nasution.

H. Abdullah Musthafa meninggalkan sejumlah aset pesantren berupa bangunan megah, tempat 8.000 orang santri dan santriwati menuntut ilmu. Pesantren Musthafawiyah yang lebih dikenal dengan sebutan Pesantren Purbabaru itu kini memiliki banyak fasilitas, antara lain lima unit gedung belajar dengan masing-masing 16 ruang belajar yang terletak di empat lokasi yang sebagian dananya dari bantuan masyarakat dan Pemda Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal, dua unit asrama putri berlantai dua dengan 20 kamar yang masing-masing dihuni sedikitnya 60 orang santriwati, dua unit lantai satu dengan 40 kamar, dua unit warung serba ada yang dikelola para santri, dua unit rumah pegawai, satu unit poliklinik dan sebagainya.

Saat ini pondok pesantren diasuh oleh anaknya H.Musthafa Bakri Nasution (Mudir), Wakil Mudir oleh Abdul Hakim Nasution. Sekretaris H. Zulyaden. Bendahara oleh H. Miswaruddin Nasution. Kepala Sekolah H.Muhammad Yaqub Nasution, Kepala Aliyah H.Sobirin Rangkuti, LC. Kepala Tsanawiyah H. Mahmudin Pasaribu, Kepala Program Pendidikan Secara Keseluruhan Drs. H. Ardabili Batubara. Pengelola Koperasi Syari`ah Musthafawiyah oleh Mislahuddin Nasution.

Di lahan enam hektare ini, para santri putra dilatih kemandiriannya dengan membangun pondok tempat tinggal mereka. Ribuan pondok yang terhampar di Desa Purbabaru ini menjadi pemandangan unik di jalan lintas Sumatra. Ada yang merupakan bangun sederhana dengan atap rumbia dan dinding papan, tapi ada juga yang membangun dengan model mutakhir, bahkan tak sedikit yang bertingkat dua atau tiga. Yang menarik, walau mereka bangun dengan model mutakhir, tetap dengan penerangan lampu sumbu dan beralaskan tikar pandan. Bukannya mereka tak sanggup membeli, tapi soal kepraktisan saja. Para santri tidak mau repot harus membawa-bawa seluruh harta bendanya saat liburan panjang (istilah dari santri Marayap). Sebab, ketika liburan, seluruh pondok dibiarkan terbuka tak terkunci.

Untuk mendapatkan pondok tidak gratis. Ada sistem sewa kapling dengan membayar dua tabung beras per semesternya (satu tabung beras sama dengan empat kilogram) untuk setiap santri. Dan pembayaran itu diberikan kepada penduduk yang memiliki tanah. Sewa kapling tanah itu dilakukan karena jumlah pondok yang berdiri sudah melebihi areal yang enam hektare itu. Tetapi, banyak juga santri baru yang tidak membangun pondok; mereka membeli dari santri yang lulus.

Hal lain yang kerap menjadi perhatian adalah bila mereka sedang mandi di Sungai Batang Gadis yang terhampar mengelilingi ribuan pondok tersebut. Maka, jubah-jubah mereka yang putih itu pun mulai memenuhi batu-batu sungai. Tapi, itu pula yang menjadi kebahagiaan tersendiri buat para santri. Hidup bersama alam dan kemandirian.

Berbeda dengan para santri putra yang hidup dalam kemandirian, santri putri harus tinggal di asrama. Mereka justru tidak pernah memasak makanan sendiri. Namun, menurut Hj. Zahara Hanum, dengan kondisi saat ini, pihak asrama tidak dapat lagi memenuhinya. Saat ini setiap penghuni asrama putri diwajibkan membayar 4,5 tabung beras setiap bulan (sama dengan 18 kilogram beras), dan memasak sendiri. “Untuk lauknya mereka membeli,” kata Hj. Zahara yang berjanji jika keadaan ekonomi sudah agak membaik, para santri tak perlu lagi membeli lauk. “Kasihan mereka,” katanya.

Tapi sebenarnya, para santri putri punya peluang mendapatkan uang. Di asrama mereka memperoleh banyak keterampilan dari menyulam taplak meja hingga menjahit dan membordir mukena. Produk itu dijual ketika mereka kembali ke kampung halaman atau kepada penduduk setempat.

Uang pendidikan di pesantren hanya Rp 7.500, itu sudah termasuk uang asrama, bagi santri wanita. Bila ada saudaranya menjadi santri, ada hitungan lain. Anak tertua dikenakan biaya penuh, sedangkan anak kedua mendapat potongan separonya, menjadi Rp 3.750. Jika ada adiknya lagi, tidak dikenakan biaya lagi. Gratis juga dikenakan pada santri anak guru dan yatim piatu. Tapi, biaya makan dihitung sendiri.

Lama pendidikan di sini tujuh tahun, dari kelas satu sampai kelas tujuh. Setahun pertama digunakan untuk pengenalan Alquran dan belajar membaca ejaan Arab yang merupakan bahasa wajib di pesantren ini. Jumlah staf pengajar tercatat 200 orang, berasal dari berbagai pendidikan di luar negeri, khususnya dari Kairo, India, dan Makkah. Jumlah staf pengajar itu tentu tidak sepadan dengan jumlah santri yang ribuan. Untuk itu Departemen P dan K Sumatra Utara menempatkan gurunya di sana. “Mereka harus alumni IAIN serta mampu berbahasa Arab,” Zahara menjelaskan.

Hanya, karena besarnya biaya pengelolaan yang tidak sebanding dengan jumlah uang yang diterima dari para santri, itu menyebabkan pesantren Al-Musthafawiyah masih mendapatkan subsidi dari Pemda Madina dan Donatur lainnya.

http://amalmadina.blogspot.com/